Tulisan berikut ini
merupakan tulisan seputar fenomena rumah tangga kekinian perihal istilah uang yang diberikan suami kepada istrinya
setiap bulan. Beberapa keluarga mengistilahkan pemberian suami setiap bulan sebagai "uang jajan buat istri", atau "uang jajan buat anak-anak" atau lainnya. Istilah “uang jajan” ini sebenarnya sedikit ambigu,
bukankah istilah sebenarnya “nafkah”? Apakah sama antara “nafkah” dan “uang
jajan”. Sebab istilah uang jajan ini, seakan uang yang diberikan bisa digunakan
sesuka hati. Apa benar bagaimana pandangan islam tentang “nafkah” dan “uang
jajan” ini? Nyok kita kaji pelan-pelan ... Saya berusaha se-objektif mungkin dalam mengkaji dan harap maklum saya juga amatir dalam hal ini haha...
Kita perlu tahu, bahwa
laki-laki dan perempuan setelah mereka berdua menikah, mereka akan terikat pada
suatu aturan yang baru, yaitu aturan kehidupan berumah tangga tentunya. Dan itu
gak sembarangan, kita yang sudah menyandang status baru, suami atau istri,
mesti belajar lagi. Dan gak tanggung-tanggung, proses pembelajaran itu bisa
berlangsung bertahun-tahun… Kalau gak sabar-sabar, bisa resign atau DO (drop
out) tuh… Alias, you, me, end ... Weew... Karena itu, kita mulai pahami dari aturan-aturannya.
Nyok, kita mulai dari
dalil ini:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2):233)
Dari ayat itu, tugas Ibu
adalah fokus menyusukan anaknya selama dua tahun, tugas ayah adalah menjamin
makan mereka. Siapa itu “mereka”, yaitu ibu dan anaknya atuh. Anak siapa? Ya anak si
Ayah juga lah, masa anak tetangga wkwkwk…
Dari ayat itu juga terlihat
bahwa menyusui anak itu adalah pekerjaan yang berat. Di awali dengan
pernyataan, “… Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. …”
Lalu dilanjutkan, “… Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya…”
Kewajiban
Ibu memang menyusui anaknya selama dua tahun, namun saat Ibunya merasa tidak
sanggup, maka Ibunya berhak untuk menyapih si anak walaupun belum sampai dua
tahun.
Terus suami apa kerjaan?
Suami tugasnya ngasih makan istrinya. Ini dalil bagaimana
suami memiliki kewajiban menafkahi istrinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS.
An-Nisaa (4):34)
Rasulullah
shallalahu’alaihi wasallam bersabda: “Wajib
bagi kalian (para suami) memberikan rizqi (makanan) dan pakaian dengan ma’ruf
kepada mereka (para istri).” (HR. Muslim)
Rasulullah
shallallahu’alahi wasallam bersabda: “Dan
mereka (para istri) memiliki hak untuk diberi rizqi (makanan dan pakaian), yang
diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” (HR. Muslim)
“Yaa Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?” Beliau
shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “engkau beri ia makan jika engkau makan,
engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul
wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah‘” (HR.
Abu Daud 2142 dihasankan Al Albani dalam Adabuz Zifaf, 208).
Dari dalil-dalil tersebut,
inti dari pekerjaan suami adalah menafkahi istri dengan sebagian hartanya.
Berupa apa nafkahnya? Menurut HR. Abu Daud, dengan makanan dan pakaian. Saat suami makan, istri pun
harus makan seperti apa yang suami makan. Saat suami berpakaian, maka istri pun
harus diberi pakaian, tapi gak pakai pakaian suami juga laaah… heu…
“Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq (65):7)
Yup, suami itu punya
kewajiban memberi nafkah kepada istri itu sesuai kemampuan. Jadi saat suami
sedang memiliki harta sempit, maka beri nafkah istri itu semampunya. Tapi saat
suami sedang mendapatkan kelimpahan harta, maka beri nafkah istri harus
dilebihkan sesuai dengan kelebihan rizkinya. Artinya hal ini, jika disambungkan
dengan HR. Abu Daud sebelumnya, saat suami berpakaian, istri pun berikan
pakaian. Saat suami punya dua pakaian, maka berikan istri juga dua pakaian.
Saat suami punya gaji sejuta, maka berikan istri juga setengahnya. Saat
penghasilan suami naik jadi 5 juta, maka berikan istri juga setengahnya, 2,5
juta. Wallahu’alam.
Itu hanya penafsiran saya saja sebagai pengkaji ilmu, harus
ditanyakan lebih lanjut pada ulama yang lebih paham. Hadits ini mengakibatkan
istri dituntut untuk bisa mengelola keuangan yang telah diberikan oleh suami. Dan
tidak menuntut nafkah yang diluar kesanggupan suaminya, apalagi suaminya sedang
mengalami kesempitan rizqi. Suami pun dituntut untuk berusaha semaksimal
mungkin untuk mampu memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Setelah berusaha
dengan maksimal, tapi hasilnya masih kurang, maka barulah dengan ikhlas (yang
dipaksakan) istri harus bisa menerima nafkah suami berapa pun itu :D
Dari QS. 2:334, suami
memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada istri. Dengan kata lain, istri itu
adalah tanggungan suami. Sehingga, jika hal itu ditinggalkan, maka hukumnya
adalah berdosa. Dalilnya?
“cukuplah seseorang
dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR.
Abu Daud 1692, Ibnu Hibban 4240, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi
Daud)
Kalau suami tidak menafkahi
istri, ya dosa, lalu seberapa banyak nafkahnya? QS. 4:34, yang menyatakan bahwa
suami lah menafkahkan sebagian dari harta suami kepada istri. Jumlahnya adalah
sebagian dari harta suami. Seberapa banyak sebagian itu? Berdasarkan QS. 65:7,
kalau suaminya kaya, penghasilannya lagi besar, maka sebagian itu ya artinya
banyak, tapi kalau suami penghasilannya lagi sempit, atau miskin, maka sebagian
itu adalah semampunya suami.
Hei ini belum membahasa
masalah nafkah dan uang jajan??
Oke, menurut
Wiktionary.org, uang jajan adalah uang yang diberikan untuk bisa dibelanjakan
sewaktu-waktu. Biasanya uang jajan diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Si
anak bisa pakai untuk dibelikan sesuatu, bisa juga untuk ditabung. Tergantung
kebutuhan dan keinginan si anak. Lalu kalau uang jajan untuk istri? Artinya
uang yang diberikan kepada istri untuk dibelanjakan sewaktu-waktu. Uang itu
bisa digunakan istri, atau bisa juga ditabung. Intinya, uang jajan yang
diberikan suami kepada istrinya adalah sepenuhnya milik istri.
Lalu apakah sama dengan
nafkah yang diberikan suami kepada istri? Yang wajib yang mana?
Bicara nafkah, apa
sebenarnya nafkah? Nafkah itu asal katanya dari An-Nafaqah, yang secara bahasa
artinya pengeluaran. Menurut berbagai sumber, kata An-Nafaqah itu asal katanya
dari infaq. Jadi apa yang kita terima, atau setiap manusia terima, itu
sebagiannya wajib dikeluarkan, itu namanya infaq. Kalau yang tidak wajib, itu
namanya sedekah. Nah infaq ini juga berlaku untuk pengeluaran suami kepada
istrinya.
Apa saja nafkah suami
kepada istrinya? Menurut Kitab Hanafi, nafkah suami kepada istri itu berupa
makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Makanan dan pakaian ini juga kan
disebutkan dalam HR. Abu Daud dan HR. Muslim sebelumnya. Tapi gimana cerita hanya
makan dan berpakaian, tapi tinggal di rumah kardus. Maka dari itu, tempat
tinggal itu jadi otomatis termasuk diantara makanan dan pakaian. Menurut para
ulama, nafkah itu adalah sesuatu yang bisa membuat pihak yang diberi nafkah
bisa tetap hidup, sehat, dan terjaga kesehatannya. Oleh karena itu, nafkah bisa
dikatakan sebagai kebutuhan primer manusia. Bahasa Indonesianya, sandang,
pangan, dan papan.
Sebagaimana hadits berikut:
“wajib bagi kalian (para
suami) memberikan rizki (makanan) dan pakaian dengan ma’ruf kepada mereka (para
istri)” (HR. Muslim: 1218)
Ulama lain berpendapat,
nafkah selain sandang, pangan, dan papan, bisa seperti berikut:
- Ath Tha’am (makanan pokok)
- Al ‘Udm dan sejenisnya (makanan yang menemani makanan pokok; lauk-pauk)
- Al Khadim (pembantu)
- Al Kiswah (pakaian)
- Alaatut tanazhuf (alat-alat kebersihan)
- Al Iskan (tempat tinggal)
Sumber: https://muslimah.or.id/7240-benarkah-nafkah-adalah-uang-jajan-bagi-istri.html
Jadi memang istilah
nafkah itu bukanlah “uang jajan”. Nafkah itu wajib dibelanjakan, karena itu
adalah kebutuhan primer istri. Istri butuh makan, istri butuh pakaian, istri
butuh tempat tinggal. Kalau jajan, itu bergantung pada hawa nafsu. Kalau bisa
mengendalikan hawa nafsu, maka uang jajan pun bisa ditabung. Tapi kalau tidak
bisa menahan keinginan, maka uang jajan itu pun bisa dibelanjakan. Walaupun
tidak semua uang jajan itu berkaitan dengan hawa nafsu. Di saat darurat, anak
mau naik angkot pulang sekolah, tapi gak ada angkot sampai sore, maka uang
jajan pun pasti dibelanjakan untuk menahan laparnya.
Walaupun demikian, setelah
sandang, pangan, dan papan terpenuhi, tidak ada salahnya memberikan sesuatu
yang lebih kepada keluarga. Karena justru memberikan sesuatu kepada keluarga
itu lebih afdhol bahkan ketimbang infaq di jalan Allah. Tengok hadits berikut:
“empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinas
yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di
jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling
afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al Bukhari dalam
Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)
Tapi tengok, kata yang
digunakan adalah infaq, sedangkan infaq adalah pengeluaran wajib. Pengeluaran
wajib kepada keluarga itu, ya nafkah, saudaranya infaq. Hadeuh… Yang memang berarti pengeluaran
wajib suami berupa pangan, sandang, dan papan itu lebih afdhol ketimbang infaq
di jalan Allah, infaq kepada orang miskin, dan infaq untuk membebaskan budak. Namun,
ini perlu pengkajian lebih jauh nih… kenapa infaq di jalan Allah tidak lebih
penting ketimbang infaq kepada keluarga. Bukankah seorang hamba itu harus
mendahulukan Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, ketimbang keluarga? Seperti
ayat ini nih:
“Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik. (QS: At-Taubah (9):24)
Mungkin dengan
catatan, infaq kepada keluarga berupa infaq yang dapat meningkatkan keshalihan
dari anggota keluarga. Seperti misalnya, infaq peralatan shalat, Al-Qur’an,
sarana belajar seperti buku, atau media lainnya, biaya pendidikan, biaya
kesehatan, dan lain-lain. Selain itu, mungkin infaq kepada keluarga itu menjadi
penting disaat ada kaitannya dengan keluarga sebagai pondasi kehidupan.
Keluarga sebagai sistem terkecil dalam kehidupan. Saat kondisi keluarga kokoh,
maka kedudukan suami dalam masyarakat pun kokoh. Saat suami bisa merubah
kondisi keluarga, maka merubah kondisi masyarakat bahkan dunia pun tidak akan
mengalami kesulitan.
Wallahu’alam Bish
shawaab
Pengkajian ini masih
belum selesai, baru sebagian, dan masih membutuhkan pendapat para ulama yang lebih paham.
Wassalamu’alaikum
Warrahmatullahi Wabarakatuh
Sumber:
No comments:
Post a Comment